vici,vidi,

vici,vidi,
what is that ?

Rabu, 14 Maret 2012

Did you Know : Biola termahal di dunia





“Taft” pertama kali di miliki oleh saudara presiden Amrik yang ke 27 yang bernama William Howard Taft di awal tahun 1900
Biola ini di buat oleh Pembuat biola yang sangat terkenal yaitu Antonio Stradivari di awal masa keemasan pembuatannya yaitu di awal tahun 1700
Dari sekitar 2000 buatan Stradivari Biola antik ini di lelang mencapai harga $1,326,000 sekitar Rp 11.934.000.000,- dibalai lelang Christie’s East, Manhattan , New York.
Pembeli yang hanya mau di sebut sebagia “Gentleman” adalah seorang yang suka melindungi karya seni , dan dia berencana untuk meminjamkan biola ini kepada para pemusik.
Harga Biola ini di perkirakan mampu menembus harga $1.5juta.
Saat ini biola Taft di pinjam oleh pemain biola dari kanada Jessica Lineebach

Minggu, 11 Maret 2012

Inginku bukan hanya jadi temanmu-Yunika






Inginku bukan hanya jadi temanmu.
Atau sekedar sahabatmu
Yang rajin dengar ceritamu
Tak perlu hanya kau lihat ketulusan
Yang sebenarnya tak kusangka
Kadang ku hilang kesabaran

**Mungkinkah akan segera mengerti
Seiring jalannya hari
Kini ku tergila padamu
Yang ada bila tak juga kau sadari
Akan kutempuh banyak cara
Agar engkau tau semua mauku

Biarkan aku untuk jadi kekasihmu
Dan takkan percaya ungkapan
Cinta tak harus memiliki
Terlambat jika aku harus berubah
Ku terlanjur ingini semua
Yang ada di dalam dirimu

Back to **
Dan berulang mencoba
Tuk merebut hati dan cintamu
Sadarkah dirimu sering kau kesalkan aku
Bila masih saja kau menyebut namanya

Back to **
Semua mauku....

Kamis, 08 Maret 2012

Filosofi Biola

kalian pernah baca novel pak cik Andrea Hirata yang berjudul "mimpi-mimpi Lintang 'Maryamah Karpov" ? Di salah satu Mozaik novel tersebut tepatnya Mozaik 48 berjudul 'filosofi biola'. Disana Pak cik Andrea Hirata menjelaskan bagaimana pandangannya terhadap alat musik klasik ini.
"Seumur hidup baru kali ini aku menjamah biola. instrumen ini begitu artistik. gelap,berwibawa. seperti ada nyawa dalam rongganya. seperti ada sejarah yang tercatat dalam serat-seratnya. alat ini hanya berhak dipegang orang berjiwa musik berjiwa tinggi seni. orang itu bukan aku. peganganku adalah kapak, tambang, dan gerigi.
  Aku sering terpaku melihat orang bermain biola. getaran dawainya mampu menimbulkan suara yang membuat hati menggeletar. tak semua alat musik memiliki kekuatan semacam itu. kini ia berada ditanganku, berkilat, melengkung, dingin, menjaga jarak, anggun, sekaligus sangat rapuh. Biola bukanlah benda sembarangan. Ia terhormat seperti tubuh perempuan.
 Aku bahkan tidak bisa memegangnya dengan benar. Namun, ketika biola itu kusampirkan di pundakku, aku sergap perasaan nyaman yang tak dapat kujelaskan. Nurmi tertawa melihat kaku sikapku. Tampak jelas aku dilahirkan memang bukan sebagai seorang pemain biola. Jemariku terlalu kasar untuk senar-senarnya yang halus. Telapak tanganku terlalu besar untuk stangnya yang ramping. Daguku tak pandan untuk disandarkan pada kelok pinggangnya nan elok. Dipundak Nurmi, biiola itu menyatu, bak bagian dari indranya, seperti kepanjangan anggota tubuhnya. Sementara dipundakku, biola itu laksana benda asing yang terang-terangan memusuhiku.
 Tangan kiriku menggenggam leher biola, mataku melirik empat baris dawai. Sekali lagi aku takjub.Dawai-dawai itu menukik seperti jalan cahaya. Jalan menuju keindahan musik. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku mencoba menggesek nada terendah senar pertama, los benar. Biola berbunyi, napasku tertahan karena jerit suaranya langsung menerobos ke dalam jiwaku. Magis.
Nurmi mengatakan dengan menggesek sesuka hati itu,aku, tanpa sedikitpun kusadari, baru saja kuambil nada G. Katanya, aku dapat melanjutkan nada berikutnya dalam skala , dan aku tak peduli. Aku tak ambil pusing akan tangga nada dan aku tak hirau dengan segala skala. Aku hanya ingin membuktikan hipotetis Lintang bahwa kesulitan apapun dapat diatasi dengan mengubah cara pandang. Seperti caraku melihat perahu, bagiku sekarang, biola adalah benda akustik dengan senar-senar yang tunduk pada aturan fisika akustik.
 Cukup sudah pelajaran bila hari itu. Aku tidak memencet senar apapun. Aku hanya menggesek-gesek berulang-ulang satu los pertama. Dalam perjalanan pulang ke hangar perahu, aku terpana akan sulitnya main biola bagi seorang buta nada dan mental buruh perahu sepertiku. Namu, aku ingin membawakan sebuah lagu, itu saja. Hari ini, cukuplah aku bisa membuat sebuah biola berbunyi. Itu saja."

ketika ku baca mozaik ini, aku benar-benar terpaku ...

Rabu, 07 Maret 2012

My Inspiration :D



Iskandar Widjaja
Tampaknya anak muda itu memang telah beranjak meninggalkan teknik. Dia sudah tidak ada persoalan lagi dengan kualitas nada, ritme, dinamik, artikulasi, dan timbre. Bunyi yang dihasilkan oleh gesekan biolanya sungguh prima, bersih, dan juga berdaya menyihir. Itulah yang dia pertontonkan selama tiga hari (28, 29, 30 Oktober 2010) di Jakarta.
Dialah Iskandar Widjaja, pemuda usia 24 tahun, berdarah Indonesia yang lahir dan besar di Jerman. Lahir pada 1986 dan mulai memainkan biola sejak berusia 4 tahun. Ia belajar dengan Ilan Gronich di UDK Berlin dari tahun 2005 hingga 2010. Saat ini ia menerima dukungan dari Dora Schwarzberg dan bekerja di masterclasses bersama Henning Kraggerud, Shlomo Mintz, Kristen Tetzlaff, dan Donald Weilerstein.
Bakatnya yang besar dan terus terasah mengantarkan Iskandar memperoleh hadiah pertama di Jugend Musiziert, Hindemith, Postacchini dan Goldener Julius Violin Kompetisi.
Tak mengherankan jika kehebatannya itu segera dilirik oleh beberapa kelompok orkestra yang mengajaknya manggung bareng. Dia tercatat pernah tampil sebagai solist di beberapa kelompok orkestra, Dubrovnik Symphony Orchestra, Jakarta Symphony, Klassische Philharmonie Bonn, das Sinfonieorchester Berlin, Filmorchester Babelsberg dan Berlin Chamber solois di Norwegia, Jerman, Kroatia, Swiss, Indonesia, Spanyol, Italia, Belgia dan Amerika Serikat dan festival seperti “Bad Kissinger Musiksommer”, St.Prex dan Valdres Norwegia.
Berbekal permainan biolanya itulah Iskandar pun pernah merasai bermain di tempat-tempat terpandang seperti di Berlin Philharmonic, Konzerthaus Berlin, Gedung Kesenian Jakarta, Fort Reverin, Tel Aviv Opera.
Penampilannya juga telah menerima pujian yang tinggi dari media seperti “Strad”, “Dubrovacki Vesnje”, dan “der Tagesspiegel”.